2019: Jangan Kebanyakan Tidur, Bangun!!!

Assalamu'alaikum, teman-teman!
Sebelumnya, saya mau minta maaf karena lagi-lagi melanggar janji saya untuk melanjutkan cerita saya soal kegagalan menjadi mahasiswa POLSTAT STIS:(
Mungkin untuk yang satu itu bisa saya lanjutin kapan-kapan, kapan kalau ingat dan kapan kalau lagi mood wkwk. Ya, maaf-maaf saja tapi saya menulis itu tergantung mood dan keinginan, terlalu kaku jika harus mengikuti aturan jilid satu harus dilanjutkan dengan jilid dua *berusaha mencari pembenaran*

Sebenarnya saya mengalami dilema yang cukup merepotkan saat ingin memberi judul postingan ini. Menengok postingan tahun lalu yang judulnya "2018: Tahun Luar Biasa" membuat saya mengurungkan niat untuk memakai frasa yang sama di sini. Saya jadi sedikit menyesal karena terlalu cepat menilai luar biasaya sesuatu, kadang menjadi orang yang terlalu cepat kagum itu menyusahkan:( Setelah mengalami pergulatan batin dan logika yang gak berguna, lahirlah judul yang gak keren-keren amat ini. Maafkan saya yang gak kreatif:)

Oh iya, di tahun 2019 saya sudah menyandang status mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di semester 2 dan 3. Jadi di sini saya hanya akan bercuap-cuap mengenai dua semester itu, minus semester 1 yang sebenarnya ga kalah berkesan bagi saya. Yah, untuk itu mungkin bakal saya ceritain di postingan saya yang lain, kapan-kapan. Kapan kalau ingat dan kapan kalau lagi mood, wkwk. Eh, tapi mungkin bakal saya ceritain sih, kalau-kalau lagi bersihin kostan terus tiba-tiba nemu jurnal fisdas I atau ga sengaja mencet highlight "balada KGBS" di instagram dan mendadak nostalgia dengan masa hitam-putih saya:) Yah, kapan pun itu, saya juga ga tau pastinya kapan. Yang penting, ga ada aturan kalau plot ini harus berurutan dari semester 1 kan? Seperti yang saya bilang di atas, terlalu kaku jika--oke, alasan sebenarnya adalah, saya yang masih larut dalam euforia dua semester ini dan terlalu malas untuk mengingat kembali kejadian-kejadian di semester 1 which is udah berlalu hampir satu tahun. Padahal saya punya misi suci untuk menulis setiap kejadian yang saya alami selama menjadi mahasiswa teknik (dunia yang benar-benar baru untuk saya), tapi euforia libur pertama membuat saya terlena sehingga blog ini kurang asupan. Hal yang sama berulang lagi di semester 2, wkwk. Dan di semester ini saya tidak mau mengulangi kesalahan yang sama, kebetulan momentumnya bertepatan dengan tutup tahun 2019 jadi cerita di dua semester ini bisa saya rangkum dalam satu postingan hehe.

Oke-oke, udah sepanjang ini dan kita belum masuk bahkan di awal cerita.

Pertengahan bulan januari tahun 2019 disambut dengan berita duka dari @makassar_iinfo, sulawesi selatan dilanda hujan lebat yang membuat hampir seluruh wilayah terendam banjir. Saya yang sudah ancang-ancang memesan tiket pesawat satu minggu sebelum perkuliahan dimulai mendadak diserang kegundahan. Pikiran buruk mulai berkecamuk, bayangan pesawat yang saya tumpangi berputar-putar di udara, tidak menemukan akses untuk mendarat karena cuaca yang sedang bermusuhan membuat saya mulai berfantasi yang tidak-tidak. Belum lagi desakan yang menuntut kami harus ada di gowa paling lambat awal januari karena adanya kabar mengenai Musyawarah Besar yang bahkan masih simpang-siur. Saat itu, bayangan saya berbeda 180 derajat mengenai Musyawarah yang akan diadakan. Musyawarah di bayangan saya adalah orang-orang penting yang duduk melingkar mengelilingi meja bundar besar sambil melemparkan argumen satu sama lain (yah, mirip-mirip KMB jaman kolonial), sedang kami-kami yang figuran ini hanya menonton dari balik tribun.

Grup angkatan mulai ramai dengan, "Weh, cepat mko balik yang pulkam supaya cepat juga selesai ini barang-barang."; "Nda jadi awal januari, pokoknya pertengahan bulan ada semua mko di sini."; "Sudah mko pesan tiket? yang di luar kota cepatmi merapat."; "Yang belum di gowa, kapan rencana mau ke gowa? percepatmi itu eh." ; plus rentetan screenshot-an chat dari kanda-kanda senior yang menanyakan keberadaan dari angkatan kami yang belum ramai terlihat hilir mudik di area gowa.

Akhirnya setelah memantapkan hati dan meminta izin untuk balik ke gowa satu minggu sebelum kuliah dimulai, walaupun harus berhadapan dengan banyak pertanyaan dan tuntutan penjelasan dari orangtua mengenai keberangkatan saya yang dinilai terlalu dini, saya pun memesan tiket tanggal 20. Namun saya harus menelan penyesalan saya bulat-bulat yang hanya berdiam diri dalam kamar kost sampai hari pertama kuliah karena cuaca buruk yang membuat saya tidak bisa kemana-mana. Ditambah lagi ternyata Musyawarah Mahasiswa Sipil XXXII (MMS) baru akan dibuka tanggal 31 januari:( Tapi, yah, sudahlah, ya, nasi sudah jadi bubur, mau menyesalpun rasanya hanya buang-buang waktu. Untunglah bukan hanya saya, teman-teman saya juga merasakan hal serupa. Sesuatu yang membuat saya sedikit lega karena ternyata saya gak sendiri dalam penyesalan ini wkwk.

Tibalah hari pertama kuliah, tanggal 28 januari. Saya dengan langkah riang bersama sohib-sohib saya yang gak tau diri bergegas melintasi jalanan ringkas berlumpur dan becek parah dari ramsis (asrama mahasiswa) menuju kampus. Alhasil sepatu kami yang gak mahal-mahal amat itu berubah warna jadi cokelat kemerahan, tapi sabodo amat, yang penting baju necis dan rapih, bangga setengah mati sudah lepas dari seragam hitam putih yang membuat kami terlihat konyol satu angkatan. Tidak ada yang istimewa sih di hari pertama itu, toh wajah-wajahnya juga sudah bosan saya lihat di semester lalu. Dan di sela-sela hari yang tidak istimewa itu, datanglah kabar mengenai waktu MMS yang sudah lama dinanti-nanti. Maklum saja, selama semester 1, kami yang notabene mahasiswa baru belum begitu akrab dengan himpunan, interaksi kami mungkin hanya sebatas membeli lembar asistensi demi kelanjutan tugas besar yang membuat kami begadang 17 kali purnama. Atmosfer gedung sipil pun masih terasa asing, aturan yang mengharuskan kami untuk membentuk dua banjar dengan posisi barisan cewek di depan dan dikawal dengan barisan cowok di belakang setiap memasuki gedung sipil (gedsip) membuat kami terlihat bagai sekawanan bebek bercorak hitam putih mungkin menjadi salah satu penyebabnya.

Seremoni pembukaan MMS XXXII digelar di gedung CSA dan disesaki oleh kami-kami yang datang karena 50% disuruh, 40% penasaran, dan 10% karena kurang kegiatan. Setelah rangkaian kegiatan pembukaan selesai, persidangan langsung dibuka dengan tiga kali ketukan palu oleh Kanda Ketua Dewan Musyawarah HMS FT-UH periode 2017/2018 demisioner selaku pimpinan sidang yang didampingi oleh salah seorang senior angkatan 2017 yang menjadi notulen. Persidangan dimulai dengan beberapa basa-basi yang gak terlalu kami mengerti. Beberapa menit pun berlalu hingga tiba-tiba saja sidang diskorsing hingga pukul 20.00 karena alasan penggunaan tempat, dalam hal ini gedung CSA, hanya sampai pukul 6 sore. Kami yang tidak siap dengan keputusan tiba-tiba itu hanya mampu cengo, bingung harus bereaksi seperti apa. Bayangan berfolder-folder film dan tumpukan  buku yang sudah saya siapkan sebagai teman pengisi waktu luang, mumpung tugas kuliah belum menyerang, tiba-tiba saja hancur lebur karena harus menghadiri persidangan.

Sidangpun diskorsing dengan satu kali ketukan palu. Orang-orang mulai berbubaran, menyisakan kami selaku angkatan paling polos pada pengarahan singkat dari kakak pengurus mengenai betapa pentingnya MMS ini sebagai ajang pembelajaran untuk kami-kami yang masih buta kepengurusan sebelum akhirnya dipersilakan pulang dan bersiap-siap untuk hadir jam 8 nanti.

Saya memutar kunci kamar dengan lesu. Adzan maghrib sudah lama usai begitu saya sampai di kost. Membayangkan harus segera bersih-bersih dan bersiap untuk MMS membuat jiwa kemageran saya muncul di ubun-ubun. Padahal jadwal perkuliahan belum begitu padat tapi rasanya lelah sekali. Sekawanan bantal menggoda saya untuk berbaring yang saya tepis setengah hati wkwk.

Jam menunjukkan pukul 20.00 begitu informasi mengenai lokasi MMS sampai di chat line saya. Setelah memastikan pakaian saya gak melanggar aturan (gak bermotif dan berwarna mencolok, tidak pocci-pocci/ketat, memakai celana training di dalam rok, dan jilbab polos tanpa motif macam-macam), saya pun menuju lokasi diantar oleh teman cowok saya. Sekadar informasi, minoritasnya kaum perempuan (pecah belah) di teknik membuat kami diperlakukan istimewa (hampir lebay, menurut saya). Mulai dari gak boleh bepergian sendiri, gak boleh mengendarai motor sendiri, gak boleh ke gedsip sendiri, tidak boleh ini-itu sendiri, semuanya harus ditemani oleh minimal satu orang batangan (dalam hal ini teman cowok saya). Dalam beberapa hal, aturan-aturan kultural semacam itu bermanfaat juga sih, tapi di sisi lain tetap saja ada kerisihan yang menghinggapi.

Singkat cerita, skorsing MMS pun dicabut. Musyawarah berjalan dengan pembahasan yang alot (terlalu bertele-tele menurut saya), penggunaan satu kata maupun kalimat pada draft bisa dibahas sampai satu jam lamanya. Belum lagi kami sebagai angkatan yang paing muda duduk berhadapan dengan kanda delegasi 2014+ sehingga harus menundukkan kepala, pandangan tidak boleh jelalatan, punggung tegap, dan harus fokus memperhatikan pembahasan sehingga bisa menjelaskan kembali ketika ditanya. Suatu hal yang sangat sulit bagi kami. Bayangkan saja, dengan posisi duduk seperti itu, bagaimana rasa kantuk nggak datang dengan antusias? Alhasil nggak jarang kami mendapat teguran dan sindiran.
"Tabe, Pimpinan, kenapa ini saya lihat 2018 tertutup semua matanya? Tidur kah?" Salah seorang senior menginterupsi pada pukul 3 dini hari.
"Iye, saya harap agar angkatan 2018 dapat fokus pada jalannya pembahasan dan jangan ada yang tidur. Kalau mau tidur sebaiknya keluar saja dari persidangan." sahut pimpinan sidang diplomatis.
Kalau sudah begitu, kami buru-buru menegakkan punggung lalu mengambil draft untuk dibaca. Saya sendiri, walaupun duduk di barisan depan, tangan saya hanya bergerak untuk mencoret-coret draft sambil menunduk dan mata saya tertutup wkwk. Untungnya gak ada yang sadar bahwa saya tertidur dengan posisi seperti itu.

Hari demi hari berlalu dengan agenda sidang setiap malam yang berlangsung hingga adzan subuh berkumandang. Skorsing sidang sering sekali diajukan oleh teman saya selaku koordinator angkatan dengan alasan paling mainstream sejagad, "Tabe, Pimpinan, saya dari delegasi 2018 mengusulkan skorsing hingga sebentar malam pukul 20.00 dengan alasan teman-teman saya yang sudah tidak kondusif untuk mengikuti persidangan dan sebentar ada kuliah pagi pukul 07.50,"

Biasanya begitu pulang, saya dan sohib-sohib saya akan mengungsi di ramsis kamar 408, takut kalau di kost sendiri akan tertidur sampai jam 10 pagi. Selesai sholat, kami akan tidur di lantai bagai ikan lure yang sedang dijemur (memadati kamar asrama yang tidak begitu luas, buku dan tas berhamburan, pakaian digantung sembarangan, sepatu belasan pasang tergeletak begitu saja di depan pintu), dengan sebelumnya mengatur alarm jam 7 pagi. Kehidupan kami dari semester 1 memang tidak lepas dari ramsis, sampai-sampai saya pun disangka tinggal di ramsis karena seringnya menghabiskan waktu di sana. Hal itu juga sebenarnya mempermudah akomodasi massa ke tempat sidang, mengingat kita yang telah terkumpul di satu tempat (sektor ramsis) jadi penjemput tinggal mengangkut kami sekaligus HAHA. Tapi hal itu terus berlanjut bahkan setelah MMS berakhir, walaupun saya sudah mengonfirmasi berulang kali kalau saya punya kost sendiri dan tidak bertempat tinggal di ramsis tapi sepertinya teman saya punya gejala amnesia dini. Setiap teman cowok saya ingin menjemput saya, isi chatnya begini: "Turunmi, Nad, adama di bawah." yang langsung membuat saya tertawa dan membalas: "Weh, nda tinggal di ramsis ka,"

Nah, lain halnya kalau sidang diskorsing jam setengah 7 pagi setelah sebelumya diskorsing untuk sholat subuh berjamaah sedangkan kami punya jadwal praktikum jam 07.30, prinsip "ganti baju saja, nanti selesai lab baru mandi." diterapkan secara otomatis.

Minggu demi minggu pun berlalu. MMS selalu menuntut untuk mendatangkan massa maksimal dari tiap angkatan, musyawarah nggak akan dibuka kalau peserta sidang hanya segelintir saja. Nggak heran jika sidang yang harusnya dibuka jam 8 malam bisa molor sampai jam 11 atau bahkan jam 1 dinihari hanya untuk menunggu massa sidang. Saya sendiri lebih suka membantu kakak 2016 di logistik untuk membuat minuman dan gorengan untuk disajikan di persidangan, selain gak ngantuk, leher saya juga gak pegal-pegal karena harus tunduk sepanjang malam mendengarkan pembahasan. Kami sering berebutan untuk pergi ke logistik karena beberapa keuntungan itu tapi saya selalu menjadi pemenangnya wkwk, sampai kakak 16 mungkin bosan melihat saya.

Bisa dibilang kami benar-benar menjalankan pola hidup yang gak teratur. Bayangkan saja, seharian beraktifias di kampus, belum sempat isirahat, kami sudah harus mengikuti sidang sampai subuh. Hidup sudah seperti kalong, siang tidur di kelas dan malamnya begadang hingga pagi menjelang. Nggak jarang tugas pendahuluan lab kami bawa untuk dikerjakan di persidangan. Selesai satu lab, muncul lagi lab baru. Laboratorium Ilmu Ukur Tanah. Lab jurusan pertama kami yang menyadarkan bahwa akademik bisa beriringan dengan organisasi. Bisa dibilang lab ini cukup berat bagi kami karena melibatkan pengukuran di lapangan (surveying). Cukup drama juga sebenarnya, apalagi saat kami rela datang pagi-pagi ke kampus dan selonjoran di depan lab sampai pemegang kunci datang demi memperebutkan total station atapun theodolite. Belum lagi proses pengolahan datanya yang membutuhkan prosedur cukup kompleks. Tidak susah sih, berhubung kami mengerjakannya menggunakan excel, satu-satunya hal yang membuat kami pusing tujuh keliling hanyalah proses asistensinya. Setiap kelompok tentu punya problematikanya sendiri, tapi khusus di kelompok saya yang menjadi masalah bukanlah asistennya, melainkan kami yang sulit sekali terkumpul lengkap di satu tempat. Apalagi syarat asisensi adalah anggota kelompok harus lengkap dan minimal dilakukan dua kali seminggu.

Namun di sinilah himpunan itu berperan.

Untungnya saya selalu datang musyawarah, hanya empat kali alpa (smbng dkit gpp kan y). Beberapa teman kelompok saya juga demikian. Asisten kelompok saya juga merupakan orang yang sangat aktif dan punya peran penting di himpunan yang artinya selalu datang saat musyawarah. Hal itulah yang membuat kelompok kami terlihat "dimudahkan" di mata kelompok lain. Sesuatu yang saya syukuri sekaligus merasa bersalah sih, saya tidak bisa lupa bagaimana kami tidak asistensi selama hampir 1 bulan lamanya. Lucunya karena saya sendiri gak sadar kalau telah melewatkan asistensi selama itu dan kaget sendiri ketika tiba-tiba muncul notif chat asisten kami di grup, "Tanggal berapa asistensi terakhir? Lewatmi batas asistensimu toh?"
Teman saya dengan tidak berakhlak langsung nyeteluk, "Sekalian bawakanko kue sama balon, Nad, terus bilang Happy Anniv 1 Month nda asistensi, teman-teman!" yang langsung saya cekek gemas.

Tapi kembali lagi seperti yang saya bilang sebelumnya, saya juga sejujurnya bingung, apakah asisten kami yang terlalu baik atau kami yang terlalu terlena. Pelanggaran itu sebenarnya termasuk pelanggaran berat dalam dunia perasistensian, tapi kami hanya mendapat teguran lisan. Kalau di kelompok lain mungkin sudah diberi SP atau ancaman batal. Kadang usulan saya unuk asistensi pada siang hari di sela-sela pergantian mata kuliah diberi keringanan untuk ditunda hingga sore mengingat kami semalaman tidak tidur dan pastinya butuh isirahat ekstra.

Setelah berjalan kurang lebih satu bulan setengah, MMS pun ditutup dengan penetapan ketua-ketua lembaga HMS yang baru. Tapi kami belum bisa menarik nafas lega, pasalnya, habis MMS, terbitlah RAKER (Rapat Kerja). Pembukaan RAKER digelar di Malino (kalau di Bogor, mirip-miriplah sama Puncak). Sesuatu yang membuat saya super antusias untuk ikut karena waktu itu saya belum pernah sama sekali ke Malino, kapan lagi kan ya gitu saya mikirnya HAHA. Selama 2 hari 1 malam di sana, untuk pertama kalinya kami menjalani yang namanya konsekuensi. Sebenarnya kami juga sudah pernah diberi konsekuensi saat MMS tapi saat itu kami masih terlalu noob dan belum mengerti apa-apa, alhasil daripada kengkreng, posisi kami lebih mirip atlet squat jump.

Entah MMS ataupun RAKER, kehidupan kami tetap sama, siang menjalani perkuliahan dengan mata 5 watt dan malamnya begadang sampai mampus. Untungnya, RAKER biasanya tidak berlangsung sampai matahari terbit, rapat akan diskorsing sekitar pukul 4 atau 5 subuh. Tapi karena kami pulangnya ke ramsis, pagar ramsis itu tertutup jam 11 malam dan baru akan dibuka jam 7 pagi, maka bukan pemandangan aneh jika melihat segerombolan mahasiswi mengendap-endap masuk ke dalam halaman ramsis melalui celah pagar yang roboh namun belum sempat diperbaiki, melewati tumpukan sampah masyarakat dan kebun jagung sambil menahan tawa karena selalu saja ada korban yang terperosok naas di kebun jagung warga HAHA. Tapi pernah sekali kami terciduk oleh satpam saat sedang berusaha memasuki ramsis jam 4 subuh, alhasil disidanglah kami dan diceramahi habis-habisan lalu dipersilakan masuk setelah meminta Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) kami sebelumnya. Ya tapi dasar keras kepala, bukannya kapok, besok, besok, dan besoknya lagi kami tetap saja masuk ramsis sambil mengendap-endap.

Olahraga malam pun nggak pernah alpa kami lakoni, datang segar bugar, pulang baju lembab mandi keringat. Tidak heran jika setiap pulang RAKER jam 5 subuh, jiwa dan raga kami rasanya mencelos memandang tangga ramsis yang sangat tidak bersahabat untuk otot-otot kaki kami yang rasanya seperti sudah kehilangan tulang, pegal setengah mati. Tapi apa daya, mau gak mau kami harus berusaha menapaki satu demi satu anak tangga menuju lantai 4 walaupun mulut tidak berhenti mengeluh dan mengomel, persis lansia dengan riwayat asam urat dipaksa naik sepeda. Lutut gemetaran dan keringat dingin sebesar biji jagung mengalir deras.

Untung saja RAKER gak berlangsung begitu lama. Pasca RAKER, kami juga tetap disibukkan dengan penyusunan laporan IUT. Untung saja laporan kelompok saya dapat selesai dengan sehat sentausa walaupun kata BATAL sudah tercetak besar-besar menyertai nama kelompok saya saat responsi tutup. Cukup dramatis sih kalo diingat sepanik apa kami saat itu, tapi lagi-lagi kami diberikan kemurahan hati dari asisten dan koordinator asisten yang memperpanjang waktu penyelesaian laporan walaupun harus menghabiskan waktu hingga subuh di kost beliau untuk ujian ACC. Apalagi saat itu sudah masuk bulan Ramadhan, yang artinya pulang dari sana kami langsung sahur tanpa sempat tidur, berasa lagi jihad fii sabilillah. Kami yang terburu-buru, ditambah teman kelompok saya yang masih sempat-sempatnya bersikap menjengkelkan dan posisinya saat itu saya hanya sempat minum air untuk membatalkan puasa, capek lahir batin sampai air mata saya tumpah sendiri dan berakhir menangis sesenggukan karena jengkel dan lapar. HAHAHA saya tidak bisa lupa bagaimana ekspresi teman kelompok saya yang pucat sedangkan teman-teman yang lain berusaha menenangkan saya.

Antara sedih namun juga mendebarkan, bagaimana saya menghadapi Ramadhan pertama di kampung orang, jauh dari keluarga. Mulai dari harus bangun lebih awal karena harus nyiapin makanan sahur hingga harus nyiapin juga makanan untuk berbuka. Untungnya saya tidak merasa kesepian karena saat itu saya memulai puasa pertama di kost sohib saya yang tumben-tumbennya sedang rajin masak. Tapi betapa mengenaskannya kami para penghuni ramsis (legal maupun ilegal) yang tidak punya kompor dan bahan makanan. Belum lagi disibukkan dengan laporan membuat kami jangankan untuk memasak, keluar membeli makanan saja malasnya minta ampun. Beberapa kali kami hanya sahur dengan mie instan karena itu satu-satunya yang paling praktis HAHA, tapi lebih sering sahur hanya minum air putih karena terlalu malas untuk bangun makan. Makanya tidak heran kami akan terlihat lebih seperti ayam potong daripada manusia di siang hari, maklum kurang gizi. Nah, waktu buka puasa adalah momentum yang paling tepat untuk balas dendam. Segala jenis makanan dihajar sampai tandas, mulai dari es buah sampai es batu digigit tanpa ampun. Sebagai para pejuang IUT di garda terdepan, bukan pemandangan aneh jika ruangan kosong di ramsis lantai 1 disulap menjadi markas besar kami menyusun laporan sambil ngabuburit menunggu adzan magrib. Saking niatnya, kami sampai melengkapi markas tersebut dengan printer, kipas angin, colokan panjang, sampah-sampah, sajadah, mukenah, hingga pakaian kotornya arya yang mendadak jadi tunawisma sejak IUT menyerang.

Kalau diingat-ingat rasanya antara percaya dan tidak percaya saya bisa melalui itu semua dengan baik. Setiap semester memang punya kesannya masing-masing. Semester 1 dengan seragam hitam putih dan KGBS yang legendaris, sementara semester 2 dengan MMS, RAKER, IUT, dan beberapa kali "Pengumpulan" oleh kakak pengurus yang menyita tidur malam kami ampun-ampunan. Rasa-rasanya rindu juga dengan masa-masa itu walaupun prinsip "indah untuk dikenang, tidak untuk diulang" tetap berlaku.

Berbicara tentang "Pengumpulan", Pengumpulan ini bisa dikatakan salah satu dari tahapan proses yang harus kami lalui untuk dapat mengikuti "Penyambutan". Penyambutan sederhananya merupakan suatu momentum yang menandakan bahwa kami yang tadinya hanya berstatus sebagai "mahasiswa teknik" bisa naik level menjadi "anak teknik", suatu jenjang kaderisasi yang membuat kami yang awalnya hanya berperan sebagai "penikmat" menjadi seorang "pekerja." Bisa dibilang prosesi pengumpulan kami agak terhambat dan berlarut-larut dikarenakan saat itu bertepatan dengan libur semester sehingga banyak dari teman angkatan saya yang masih berada di kampungnya masing-masing. Diperlukan usaha yang cukup masif memang jika ingin membujuk kami semua untuk berada di gowa di tengah-tengah euforia libur setelah melalui semester 2 yang membuat kami rasanya selama liburan hanya ingin rebahan saja.

Saya sendiri sebenarnya salah satu orang berhasil dibujukrayu agar kembali ke gowa dalam waktu dekat karena di samping ingin mengikuti pengumpulan, saya juga harus mengurus lomba beton yang waktu itu saya ikuti dengan modal nekat. Banyak drama yang kami hadapi selama proses pengumpulan, mulai dari masalah massa hingga ketepatan waktu yang seringkali kami langgar. Kami juga sempat mengikuti TC sebanyak 3 kali, satu kali di kampus tamalanrea dan 2 kali di gowa. Walau sejujurnya saya sampai sekarang tidak tau apa kepanjangan dari TC:( Intinya TC mirip-mirip dengan olahraga massal sih, kami akan berlari dalam bentuk barisan sambil meneriakkan yel-yel ataupun  menyanyikan mars jurusan sampai suara serak. Salah satu kenangan yang seru walaupun setelah itu tulang-belulang rasanya mau copot dan betis mendadak berotot. Tapi terlepas dari segala suka duka itu, rasanya semua terbayar lunas begitu kami dihadapkan pada spanduk selamat datang besar yang memuat logo angkatan kami "Transisi 2019". Tapi penyambutan ini baru gerbang awal, butuh langkah pertama, langkah kedua, dan langkah-langkah berikutnya bagi kami agar dapat masuk dan terlibat lebih dalam. Semakin jauh melangkah, tentu akan semakin banyak resiko dan semakin besar tanggung jawab yang akan kami emban. Untuk itulah kami diharuskan agar mampu tetap saling merangkul dan tidak pernah saling meninggalkan yang lain sendirian. Bahasa kerennya, solid. Hal yang menurut saya paling berkesan adalah saat kami dikumpulkan dalam satu ruangan dengan aba-aba untuk saling berpegangan tangan satu sama lain dengan mata tertutup dasi dan jangan sampai ada genggaman yang terlepas. Karena penglihatan gelap, indera pendengaran saya pun bekerja dengan lebih peka, suara-suara jeritan teman-teman saya ketika genggaman kami dipaksa untuk terlepas tapi tetap keukeuh memegangnya kuat-kuat ditambah suara-suara "Jangan lepaskan temanmu, jangan biarkan temanmu sendiri, rangkul ki. Satu rasa ko semua, sama-samako jalani ini. Sedikit mami eh," membuat saya antara ingin tertawa karena geli atau menangis karena terharu WKWK. Yang saya ingat kemudian suara-suara jeritan mulai teredam dengan isak tangis kami plus tarikan ingus yang dipaksa agar tidak jatuh, malu-maluin ey HAHA. Dasi yang dipakai untuk menutup mata jadi basah total dengan air mata dan jilbab saya pun kondisinya tidak jauh berbeda. Dengan posisi saling berpelukan dan mata tertutup, entah air mata siapa yang membanjiri jilbab saya hahahah. Sampai akhirnya kondisi sudah mulai reda, gak chaos kayak sebelumnya, barulah kami diinstruksikan untuk membuka dasi yang menutupi mata dan hal yang pertama terbit adalah senyuman lega dan tulus satu sama lain, ciee. Dengan muka yang masih sembab karena kebanyakan menangis kami langsung disuruh keluar dari ruangan sambil bersama almamater-entah-punya-siapa. Saya masih ingat euforia saat kami diarahkan untuk berjalan menuju ke tengah amphi theater yang sudah didekor dengan logo angkatan kami yang gila kerennn! Belum lagi acara salam-salaman mirip-mirip halal bi halal antara kami dengan kakak steering beserta ucapan tulus dari mereka, "Selamat nah, semangatko!" Peristiwa selanjutnya ya bisa dilihat di highlight instagram pribadi saya HAHAHAH, promosi sedikit gapapa kan y. Sebenarnya setelah itu masih banyak hal-hal seru yang rasanya sayang banget gak diceritain, mulai dari main kucing-kucingan sama asisten soal asistensi, bolos kelas demi galang dana kegiatan, drama praktikum yang saling tumpang tindih, keberuntungan luar biasa yang bikin saya bisa injak medan, keseruan civil games dan drama malam-malamnya di pinggir pantai, hingga MMS 33 yang berlangsung jauh lebih berlarut-larut. Tapi kayaknya saya ga bisa ceritain semua soalnya ituu bakall panjanggggg bangeeetttt. Ini pun ya, tulisan ini udah ada di draft dari desember 2019, dan saya baru selesai nulis dan berencana upload hari ini (lihat kalender) "16 Agustus 2020" HAHAHAHA. Ada yang tau obat apa untuk menyembuhkan penyakit suka menunda-nunda pekerjaan? :")

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pidato : Gaya Hidup dan Pergaulan Remaja Masa Kini

Puisi : Generasi Muda

Puisi : Pejuang Ilmu