Bapak, Bukan Pahlawan Berkapak

Assalamualaikum, teman-teman!

Seperti postingan-postingan saya sebelumnya, postingan ini juga lahir di luar perencanaan saya apalagi prediksi dokter. Ide untuk nulis ini tiba-tiba aja nemplok di kepala saya tanpa konfirmasi sebelumnya. Saya sih seneng-seneng aja, lumayan kan, jarang-jarang bisa nafkahin blog saya yang belakangan ini terbengkalai wkwk, maafkan mama, nak! Untuk masalah ide ini terlintasnya kapan dan dimana nggak usah ditanyalah, ya, pasti kalian semua udah tau. Saat-saat kapan sih kita lagi gabut berat di tengah-tengah aktifitas alam yang nggak memerlukan kerja otak penuh sehingga fungsi otak pada saat itu dialihkan untuk memikirkan hal-hal receh yang sebenarnya nggak penting sama sekali. Yaudahlah ya, pikir aja sendiri.

Oke, mungkin mukadimahnya udah kepanjangan, so langsung aja ya. Oh iya, sebelum ada salah paham yang membuat saya harus menggelar konferensi pers karena postingan ini, saya hanya mau mengingatkan kalau kali ini saya akan membahas bapak saya, bukan bapak tetangga, apalagi bapak kalian. So jika ada kesamaan nama, tempat, dan peristiwa itu hanya kebetulan belaka, soalnya nggak mungkin bapak kita sama kan kecuali kamu sodara saya wkwk.

Oke, mari kita mulai. Bapak saya adalah suami ibu saya, mungkin mantan pacar ibu tetangga, atau mungkin mantan pacar ibu kalian, mungkin ya. Mereka bertemu bertahun-tahun lalu, jauh sebelum saya ada, kemudian memutuskan menikah 1 tahun 9 hari sebelum saya lahir sebagai kado terindah (narsis mode on). Oh iya karena laman blog ini super minimalis, jadi saya nggak mungkin bercocok tanam menceritakan bapak saya (kok kesannya saya lagi ghibahin bapak sendiri ya) sampai tuntas ke akar-akarnya, saya hanya akan membahas permukaannya saja ya hehe. Jadi selama 17 tahun saya berjalan dan bernafas di muka bumi ini, saya memanggil bapak saya dengan kata 'bapak' bukan ayah, papa, papi, pipi, apalagi panda. Bagi saya kata 'bapak' sudah cukup berarti.

Dari bapak, saya belajar banyak hal, hal-hal yang nggak saya dapatkan di buku-buku teks pelajaran sekolah, yaitu pelajaran tentang kehidupan, terutama tentang perubahan. Yah, minus bapak yang ngajarin saya perkalian dan pembagian bersusun padahal saya masih kelas 1 SD 🙄 (emang ini si bapak ngira anaknya sepintar apa euy).

Walaupun bisa dibilang saya masihlah seorang remaja tanggung yang belum makan garam kehidupan, tapi saya bisa mengamati bagaimana sosok bapak saya yang berubah dari waktu ke waktu. Beliau pernah menjadi sosok yang sangat memanjakan saya, kemudian berubah menjadi dingin dan tak tersentuh sampai saya tidak bisa mengenali bapak saya, lalu berubah menjadi hangat kembali namun canggung, hingga kini berubah menjadi sosok yang Alhamdulillah lebih dekat dengan Allah. Namun satu yang saya tau tidak pernah berubah, kasih sayangnya kepada kami semua, yang berubah hanya bagaimana cara dia menunjukkannya.

Dulu ketika kecil, rasa sayangnya dia wujudkan dengan memanjakan saya dan adik saya (dulu kami masih berdua) bahkan memenuhi segala keinginan kami yang jika sekarang saya pikir-pikir hanya buang-buang uang. Begitu saya menginjak awal kelas 5 SD dan muncul anggota baru di keluarga kami, Bapak saya berubah karena satu alasan yang tidak perlu disebutkan. Beliau jadi jarang di rumah--memang dari dulu jarang di rumah sih, bapak saya hanya pulang ke rumah seminggu sekali, tapi waktu itu beliau bahkan tidak di rumah selama beberapa bulan. Saya mungkin masih terlalu kecil untuk ikut campur, tapi saya tidak pernah terlalu kecil untuk mengerti bahwa ada yang tidak beres, alhasil sejak itu saya berusaha untuk tidak manja lagi. Saya tidak pernah berbicara dengan bapak saya lagi, melihatnya saja saya malas, ketika beliau di rumah saya selalu berada di kamar bersama adik-adik saya, tidak mau berpapasan dengan beliau. Masa-masa kelam itu berlangsung selama beberapa tahun hingga saya berseragam putih-biru dan anggota terakhir keluarga kami lahir dengan sehat dan selamat. Saya bahkan tidak ingat apakah bapak saya yang mengadzankan adik saya itu ataukah orang lain.

Tidak lama setelah itu, bapak saya pelan-pelan kembali seperti dulu. Mungkin kehadiran adik saya yang terakhir menyentuh sedikit sisi lembutnya, pasalnya dari kami berempat hanya dia satu-satunya yang bergolongan darah sama dengan bapak saya. Kata ibu saya sih, kalau bapak saya kekurangan darah yang bisa nolongin ya cuma adik saya yang itu doang hehe. Beliau mulai mengakrabkan diri dengan saya dan adik-adik saya, mulai gencar mengajak kami menghabiskan waktu baik di luar maupun di dalam rumah, tapi yang bisa kembali seperti dulu hanya adik-adik saya, sedangkan saya masih teguh berdiri di balik benteng kokoh yang tanpa sadar saya bangun sendiri. Di depan bapak, saya bisa tersenyum dan tertawa seperti tidak pernah ada apa-apa, membuat saya tidak pernah menunjukkan perasaan saya dengan jujur di depan beliau--bahkan untuk menangis di depannya saja saya gengsi wkwk. Bahkan saya tidak sadar hal itu berlanjut hingga detik ini.

Masa-masa canggung itu berjalan kurang lebih 3 tahun. Beberapa tahun belakangan, Alhamdulillah secara tidak disangka-sangka keluarga kami menjadi lebih religius. Bapak saya yang tidak pernah tamat iqro kini mulai belajar mengaji walau tersendat-sendat. Beliau dulu yang hanya sholat ketika ingat kini mencoba istiqomah berjamaah di masjid samping rumah. Bapak saya yang dulu hobi membelikan saya baju-baju berlengan pendek dan celana jeans mulai memperhatikan pakaian saya agar sesuai dengan syariat agama. Dia yang dulu jarang peduli jika saya lepas-pasang jilbab kini mulai sering mengingatkan saya agar tidak lupa memakai kaos kaki jika ingin kemana-mana (Kaki itu juga aurat, girls, jadi harus ditutupin). Walau terkadang berlagak cuek, tapi saya tau nama kami tidak pernah alpa ia rapalkan dalam doa-doa panjangnya. Alhamdulillah, bapak saya berubah ke arah yang lebih baik. Itulah yang menempa saya menjadi orang yang tidak pernah takut dengan perubahan sehingga mudah beradaptasi dengan masyarakat dan lingkungan baru, bahasa kerennya sih: Opstimis dan bersemangat menghadapi perubahan (wkwk gaya lu nad)

Di atas itu semua, saya bersyukur, perjalanan hidup yang seperti itu memberikan saya banyak pelajaran menuju pendewasaan. Hei, bung, kedewasaan itu soal pola pikir, bukan siapa yang lebih dulu lahir! Oleh karena itu, sekarang saya mencoba ikhlas dan sedikit demi sedikit mengikis benteng kokoh ini dengan kekuatan saya sendiri, mungkin sekarang saya hanya memiliki palu, tapi saya akan belajar bagaimana cara merakit meriam, biar bentengnya roboh sekalian.

Namun tidak peduli seperti apa bapak saya, beliau selalu menjadi sosok yang saya kagumi (terlepas dari oppa-oppa korea kinclong yang wajahnya lebih mulus dari wajah saya). Satu hal yang saya ingat berhubungan erat dengan bapak bahwa beliau adalah pendongeng ulung. Entah cerita tentang monyet dan kura-kura yang dia modifikasi menjadi lebih tidak masuk akal hingga cerita kancil dan buaya yang membuat saya geleng-geleng kepala begitu membaca cerita aslinya. Ternyata bapak saya selama ini bercerita dengan 10% kekonyolan dan 90% karangan bebas, satu-satunya yang sama ya cuma nama tokohnya, kancil dan buaya wkwk. Tapi cerita yang selalu jadi favorit saya adalah kisah hidupnya yang berbumbu manis, pahit, asam, kecut, nano-nano deh.

Pernah suatu sore di akhir bulan ramadhan, bapak saya yang baru pulang sholat ashar duduk di depan tv sambil cerita.

Bapak: Mudik semua orang ee, di mesjid tinggal kita bertiga. (beliau membuka cerita dengan logat kendari sambil memencet-mencet remot sedangkan kami sedang duduk memetik kangkung)

Bapak: Jadi kalo mo sholat mi orang, kita bagi tugas. Pak Sawaun yang adzan terus Agus yang jadi imam.

Saya: Terus bapak? Iqomah? (dalam hati mengingat-ingat sepertinya suara beliau tidak pernah terdengar dari toa masjid).

Bapak: Bukan toh, bapak yang jadi makmum. (duduk nonton tanpa dosa)

Saya: Bukan bagi tugas itu-_- (buru-buru pergi, menyesal buang-buang waktu dengar cerita unfaedah).

Dari situ bisa dibayangkan bahwa bapak saya kemungkinan tipe orang yang jaman sekolah ketika ada tugas membuat laporan dia akan kebagian tugas menjilid atau tugas memencet-mencet tombol next saat presentasi. Tapi itu hanya bayangan saya sih, pasalnya bapak saya adalah seorang pekerja keras. Beliau bukan anak yang terlahir di keluarga konglomerat dengan harta yang tidak habis dimakan hingga 7 turunan. Beliau lahir di sebuah keluarga dengan tingkat ekonomi menengah yang gemar berkebun nun jauh di kampung sana. Masa kecilnya dia habiskan dengan menggembala sapi-sapi milik keluarga dan khatam menjelajahi kebun hingga ke kebun tetangga wkwk. Sejak kecil dia terbiasa berjualan dulu sebelum pergi ke sekolah, keliling dari rumah ke rumah menawarkan sepotong kue dengan harga yang jaman sekarang "apa atuh". Bapak saya bilang, selama 6 tahun SD, dia hanya memiliki dua pasang seragam yang membuat saya yang hampir  tiap tahun dibelikan seragam baru mengerutkan alis. Orang tuanya tidak berpendidikan tinggi sehingga mereka berharap bapak saya beserta saudara-saudaranya tidak putus sekolah dan berpendidikan setinggi-tingginya.

Begitu masuk SMU, bapak saya pergi ke ibukota kabupaten untuk melanjutkan sekolah, alhasil beliau harus hidup mandiri. Alhamdulillah bapak saya melanjutkan kuliahnya di kendari dan bertemu dengan ibu saya (ceilah). Sampai sekarang saya nggak mengerti kenapa bisa bapak saya yang kuliah fakultas pertanian bisa berkecimplung di dunia proyek pembangunan desa, korelasinya dimana saya juga belum bisa menemukan. Ilmu pertaniannya nggak tau ngumpet dimana. Tapi itulah bapak saya, mungkin dia merasa kuliah salah jurusan, makanya dia nggak pernah maksain saya mau kuliah dimana dan jurusan apa. Alhamdulillah dia percaya dengan keputusan yang saya ambil sendiri, wong ini hidup saya kok, saya yang jalanin, resikonya juga saya tanggung sendiri.

Walaupun saya gondok juga kalau bapak saya mulai membanding-bandingkan bagaimana hidup dia dulu dan hidup saya yang sekarang, awalnya sih dalam hati masih ngucap syukur, lama kelamaan kesal jadi saya cuma banyak-banyakin istigfar sambil sesekali nyaut dan nyolot "ITU KAN DULU!"

Hehehe, panjang ya? Padahal masih banyak yang mau saya ceritain, tapi kapan-kapan lah ya wkwk. Dadah!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pidato : Gaya Hidup dan Pergaulan Remaja Masa Kini

Puisi : Generasi Muda

Puisi : Munajat Cinta