UNHAS-POLSTAT STIS, PilihanNya, TeguranNya kah? #1
Assalamualaikum, teman-temannn!
Pertama-tamaaa saya mau ngucapin Selamat hari raya Idul Fitri 1440 H! Taqabbalallahu minna wa minkum, minal aidin wal faidzin, Mohon maaaaffff lahir bathiiiinnn!!!
Alhamdulillah, akhirnya saya kembali dengan postingan baru setelah lamaaaaaaaa blog ini luput dari perhatian saya hehe (ngos-ngosan ngelap keringat). Sebenarnyaaa ini udahhh hampiiirr satu tahunn gengss, hampiirrr bangett setahun sejak saya berniat mengangkat judul ini jadi bahan celotehan di blog abal-abal saya. Dulu, awalnya, saya udah sempat nulis sampai 4 paragraf tapi lebih banyak bacotnya daripada bobotnya yg bikin saya auto mager lanjutin dan keterusan sampe sekarang. Yahh, gimana ya, padahal saya sempat beberapa kali ngebuka blog ini buat lanjutin cerita soal gimana lika-liku kehidupan saya setelah melepas status sebagai seorang siswa, ceilah. Tapi begitu buka, jempol saya di luar kendali malah mencet buat baca postingan-postingan lama saya yg cuma seuprit itu sambil senyum-senyum sendiri (tolong jangan dibayangkan).
Salah satu faktor yg bikin nih tulisan juga gak maju-maju karena saya tuh punya kebiasaan suka ngebaca ulang apa yg sudah saya tulis walaupun cuma satu paragraf sebelum lanjut nulis paragraf berikutnya, dan bacanya itu ga satu-dua kali tapi berkali-kali! Jadi harap maklum ya manteman yang budiman:) Kehidupan kampus yang ga seindah novel-novel teenfiction favorit saya juga menjadi faktor tulisan ini nganggur di dalam draft sampai berbulan-bulan, hhh. Untuk yang itu Insya Allah bakal saya bahas nanti. Iya, nanti kalo ingat:)
Dengan tulisan saya yg belum kelar itu, eh, ada ide lain yg tiba-tiba nemplok di kepala saya tanpa permisi alhasil lahirlah postingan saya yang soal bapake itu lohh. Yah, mayanlah, ya, buat ngisi konten daripada sepi. Kali ini, di liburan semester genap saya yang pertama sejak menyandang status mahasiswa, saat Kendari sedang mesra-mesranya bercumbu dengan hujan yang datang ngapel tiap hari, saya tiba-tiba saja teringat akan tulisan (bacotan, red) yang saya gantung hampir setahun lamanya! Khawatir nih barang bakal lapuk karena kelamaan digantung, saya memutuskan untuk datang membesuk hehe.
Ohiya, saya mau menceritakan (curhat sih lebih tepatnya) pengalaman saya selama beberapa bulan sebelum masuk kuliah, which is ini perih banget sih, literally ya bikin menclos kalau diinget-inget. Udah kayak anak jaksel belom? Hehe. Hmm, mulai dari mana ya? Kalau ga salah postingan terakhir saya itu tentang kekecewaan saya pada mendikbud kan? (postingan soal bapake diabaikan sementara) Hhh, akhirnya mendikbud saya maafin deh, soalnya di luar ekspektasi ternyata nem saya terselamatkan dengan gemilang hahahah. Padahal udah nyiapin mental kalo fisika saya berkepala 4 atau 5, eh alhamdulillah berkepala gede hehe. Jadi intinya, kalo udah berusaha, selanjutnya banyakin doa aja guys, nyiptain alam semesta beserta isinya aja mudah banget buat Allah, apalagi kalo cuma soal nilai, cetek dah. Satu hal lagi yang membuat saya sangat-sangat bersyukur sampai bingung harus mengkespresikannya seperti apa adalah kabar baik yang datang dari laman SNMPTN. Berhubung di postingan saya yang tentang mendikbud itu saya sempat membawa-bawa pengumuman SNMPTN yang memang tinggal menghitung jam, Alhamdulillah saya disambut dengan warna hijau begitu berhasil login. Tulisan 'selamat' membuat saya berkali-kali mengucek mata dan memastikan saya tidak salah membaca berita kelulusan saya di pilihan pertama, Teknik Sipil-Universitas Hasanuddin. Hhh, kalau sekarang saya ingat-ingat, saya jadi malu, betapa baiknya Allah pada hambaNya. Dia telah memberikan kita semuanya sedangkan ibadah kita hanya semaunya:(
Oke, skip, nanti saya baper dan bacotan ini berhenti di sini.
Jadi, selama beberapa bulan sejak usai UNBK hingga semester baru perkuliahan dimulai, saya disibukkan dengan ujian masuk Politeknik Statistika Sekolah Tinggi Ilmu Statistik atau yang biasa disingkat POLSTAT STIS. Bukannya saya ga bersyukur atau kelewat serakah, tapi honestly POLSTAT STIS memang adalah tujuan utama saya dan saya menganggap SNMPTN itu sebagai hadiah dan kesempatan yang bisa saya jadikan batu pijakan seandainya gagal masuk ke STIS. Mungkin terdengar jahat, saya akui bahwa saya egois, apalagi jika seandainya saya lulus seleksi maka saya tidak akan berpikir dua kali untuk membuang SNMPTN saya dan memilih STIS walaupun dengan resiko sekolah saya akan masuk daftar hitam di SNMPTN tahun depan pada jurusan yang sama. Tapi ambisi saya untuk menjadi anak STIS membutakan saya akan itu semua. Kalau sekarang diingat-ingat, saya merasa malu, lagi:(
Oke, back to topic.
Mungkin sebagian besar dari kalian akan mengerinyitkan alis dalam-dalam ketika membaca nama institusi tersebut. Yah, memang sih, dibandingkan STAN, STIS itu ga terlalu beken di telinga masyarakat.
Tapi intinya yah, mirip-mirip sih, sama-sama perguruan tinggi kedinasan (which is sekolah gratis dan lulus langsung jadi PNS). Cuma bedanya, kalau STAN itu dibawahi oleh kemenkeu dan mayoritas pelajarannya seputar akuntansi, pajak, dkk, nah STIS sendiri berada dalam naungan Badan Pusat Statistik (BPS) dan seperti kepanjangannya, ga lepas dari yang namanya Statistika. Tau kan statistika? Itu loh yang biasa berada di bab-bab terakhir buku paket matematika. Di bayangan saya sih statistik itu GUAMPANG BUANGET, palingan cuma tentang nyari rata-rata, modus, median, kuartil, yah yang remeh-remeh manjah gitu. Ternyata aslinya ga sesederhana itu saudara-saudari. Lagi-lagi sifat jelek saya yang suka ngeremehin sesuatu nyaris bikin saya tersesat. Ibarat gunung es, saya cuma liat yang muncul di atas permukaan laut aja tanpa tau kalo di bawah penampakannya gede parah.
Saya pertama kali mendengar tentang STIS itu saat saya masih SMP, itupun saya tau dari salah seorang teman bapak saya yang anaknya juga kuliah di STIS. Mulai dari situ saya bertekad buat kuliah di sana apapun yang terjadi. Yah bisa dibilang sejak saat itu STIS menjadi kampus impian saya. Saya mulai sering nyari-nyari info tentang STIS, mulai dari laman resminya hingga ke blog-blog berisi kisah perjuangan masuk STIS, dan asli ternyata banyak anak STIS yang hobi nge-blog, alhasil saya jadi tau banyak soal kampus biru itu.
Tapi ternyata oh ternyata, ujian masuknya ga bisa dibilang gampang. Saya kudu ngeruntuhin 4 dinding beton yang ga lunak sama sekali wkwk. Oke, sepertinya ini akan panjang. Setelah mendaftar secara online dengan melengkapi segala tetek bengek persyaratan yang harus dipenuhi, saya mendapatkan kartu tanda peserta yang harus dibawa saat melakukan tes tahap pertama.
Tahap 1: Tes Kemampuan Akademik (Matematika)
60 nomor/90 menit
Seleksi tahap pertama dilakukan selama 3 hari dengan sistem ujian berbasis komputer. Nah, saya kebagian hari pertama sesi ketiga tanggal 12 mei 2018 (ini ga bakal saya lupa saking antusiasnya) di kantor BKN SULTRA. Dengan berbekal doa dan google maps, saya naik pete-pete (angkot, red) sendiri menembus hujan rintik-rintik yang berkejaran jatuh ke bumi. Sumpah, suasananya waktu itu melow banget bikin air mata saya hampir netes, antara gugup, takut, tapi optimis bakal lolos, semuanya menggebu-gebu jadi satu. Hanya shalawat dan istigfar yang menjadi teman seperjalanan saya waktu itu, segala macam rumus yang belakangan jadi kawan sehari-hari sejenak saya tanggalkan dari pikiran, saya rasa waktu mengasah kapak sudah cukup dan kini tinggal menunggu waktu eksekusi dengan khidmat, hiyaaatt.
Begitu tiba saya langsung masuk dengan PDnya ke dalam kantor dengan terlebih dahulu mengobservasi sosok-sosok manusia asing yang duduk berjejer di depan pintu masuk. 'Mungkin para orang tua peserta' pikir saya saat itu yang membuat saya cukup sedih karena pergi seorang diri tanpa ada yang menemani. Sebelum masuk, saya dicegat dengan seorang bapak berseragam rapi, "Bisa lihat surat-suratnya, Dek?"
Bukan, bukan, si bapak bukan polisi lalu lintas.
"Bisa lihat kartu tanda peserta dan KTPnya, Dek?" tanya si bapak yang ternyata salah seorang pegawai BKN yang juga merupakan panitia pelaksana ujian saat itu. Saya hanya menatap beliau sekilas lalu mengeluarkan kartu tanda peserta yang sudah saya cetak dan KTP sementara saya yang masih berupa lembaran kertas ukuran A5 berwarna biru. Setelah mencocokkan identitas saya dan memastikan bahwa saya bukan oknum yang gemar memalsukan identitas, beliau tersenyum dan mempersilahkan saya masuk.
Begitu masuk, ternyata ujian sesi kedua masih berlangsung jadi kami dipersilahkan untuk duduk di ruang tunggu yang lebih mirip ruang sidang. Sebelumnya saya diarahkan untuk menyimpan semua barang-barang saya ke dalam loker dan mengisi absensi di format yang sudah disediakan, tak lupa juga diberi user name dan password yang akan saya gunakan saat ujian nanti. Begitu saya sudah duduk manis di kursi, penyakit saya ketika musim hujan tiba-tiba datang tanpa permisi, ya, saya punya kebiasaan bolak-balik buang air kecil kalau udara sedang dingin-dinginnya, apalagi waktu itu sedang hujan dan pendingin ruangan bekerja dengan sangat optimal.
Untuk membunuh waktu, saya yang memang aslinya kepo dan tukang penasaran langsung mengedarkan pandangan dan mengamati satu per satu wajah-wajah teman seperjuangan saya, beberapa ada yang familiar (mungkin kakak kelas di SMP atau SMA) dan sebagian besar asing. Daripada bengong kayak orang bego, saya mulai sok asik dengan orang yang duduk di samping saya. Caranya mudah kok, cukup perkenalkan diri, menanyakan nama dan asalnya dan sedikit basa-basi seperti bertanya tadi ke sini sama siapa, naik apa, ditungguin tes atau nggak. Tapi kalo nanya ya satu-satu jangan keroyokan nanti orangnya babak belur, hehe.
Selang beberapa menit, pintu ruang ujian terbuka perlahan-lahan dan menampakkan kurang lebih 50 kepala dengan raut wajah beraneka ragam. Ada yang pucat pasi (entah karena rasa gugup atau karena pendingin ruangan yang suhunya keterlaluan), ada yang riang gembira bak menang lotre 2 milyar, ada yang matanya sembab (entah karena tangis atau karena sempat-sempatnya tidur di dalam ruangan), intinya wajah-wajah itu membuat saya harap-harap cemas. Setelah ruang ujian benar-benar steril dari peserta sesi dua, kami pun dipersilakan untuk memasuki ruangan dengan membentuk dua barisan (satu barisan cowok dan satu barisan cewek) yang mana setiap orang sebelum masuk akan diperiksa menggunakan alat pemindai untuk mengidentifikasi apakah ada alat-alat atau perangkat yang kiranya dapat digunakan sebagai media kecurangan. Setelah memastikan semua peserta bersih dari barang-barang tersebut, kami pun masuk dan mencari komputer mana yang akan kami gunakan dengan menyesuaikan nomor peserta kami dengan nomor yang tertempel pada meja ujian. Sebuah kebetulan yang tidak istimewa, saya kebagian tempat duduk di barisan paling kiri dan shaf ketiga dari belakang.
Setelah duduk manis, kami mendapat pengarahan singkat mengenai bagaimana cara untuk login ke dalam situs ujian beserta penegasan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh seluruh peserta ujian. Satu peraturan yang membuat saya menghela nafas panjang adalah "Peserta dilarang meninggalkan ruang ujian saat ujian sedang berlangsung dengan alasan apapun." Karena tahu peraturan itu bukan main-main, saya cuma bisa berdoa semoga hasrat ingin ke kamar kecil saya tidak kambuh dalam 90 menit ke depan. Setelah berdoa memohon petunjuk dan kemudahan, saya mulai mengerjakan soal-soal tersebut dengan tenang. Kuncinya 'jangan panik' dan kerjakan soal-soal yang dirasa mudah terlebih dahulu, begitu saya bertemu dengan soal yang sulit ataupun soal yang butuh waktu lama untuk diselesaikan, saya langsung pindah ke soal lainnya. Jangan lupa perhatikan waktu yang terus berjalan angkuh karena banyak orang yang keasyikan mengerjakan satu soal lantaran penasaran dengan jawabannya sampai tidak sadar telah menghabiskan waktu tiga sampai lima menit, which is sayang banget waktunya. Ohiya, sekadar informasi, sistem penilaiannya adalah +4 untuk jawaban benar, (-1) untuk jawaban salah, dan 0 untuk soal yang tidak dijawab, jadi saya tidak berani mengeluarkan jurus-jurus tejo (tembak jonga) andalan saya. Untuk standar soalnya, seperti rumor yang sudah banyak beredar bahwa soal-soal ujian masuk STIS itu sangat sulit, tapi kalau menurut saya soalnya itu beragam sih, mulai dari yang lumayan gampang, sedang, sulit, hingga sangat sulit itu semuanya ada, jadi kembali ke diri kita gimana pintar-pintarnya kita memilah soal mana yang mau dijawab karena setiap soal itu memiliki bobot yang sama, ga ada beda bobot soal yang susah sama yang mudah. Itu menurut saya sih ya.
Tidak terasa 90 menit berlalu begitu saja. Saat waktu ujian saya tersisa 3 menit lebih sedikit, saya berhasil menjawab sekitar 30an soal yang 95% saya yakin benar, sisanya mungkin benar-mungkin salah wkwk. Begitu waktunya habis, laman langsung menampilkan semacam persentasi nilai (mungkin?) saya juga ga tau pasti tapi yang pasti 'sesuatu' itu membuat si bapak pengawas yang entah sejak kapan berdiri di samping komputer saya nyeletuk, "Dari SMA mana, Dek?" Saya yang kaget dengan keberadaan beliau langsung menoleh dengan tidak nyante dan menjawab pertanyaannya yang tiba-tiba itu. Setelah mendengar jawaban saya, beliau langsung manggut-manggut terus ngomong dengan yakin, "Sejak tadi pagi di sesi satu sampai saat ini, kamu adalah peraih nilai tertinggi untuk seleksi tahap pertama di sultra." Saya antara percaya dan nggak percaya cuma tersenyum sopan menanggapinya hingga sebuah suara dari si Ibu yang membacakan peraturan ujian tadi tiba-tiba menarik perhatian seluruh orang yang ada di dalam ruangan (belakangan saya mengetahui bahwa ternyata beliau adalah pimpinan BPS provinsi di daerah saya).
"Selamat untuk seluruh peserta sesi ketiga hari ini, kalian telah melalui tahapan pertama dari rangkaian seleksi ujian masuk POLSTAT STIS. Di sesi ketiga ini, nilai tertinggi diraih oleh peserta dengan nomor ujian 7400136." Kira-kira seperti itu ucapan beliau yang membuat saya tersinggung berat. Rasanya seperti mimpi begitu melihat kartu ujian saya dan di situ tertulis dengan jelas nomor ujian saya berekor 7400136. Saya langsung mandang si bapak dengan mata berkaca-kaca, rasanya mau nangis tapi malu, mau malu tapi nangis, eh, ga deng, saya refleks ngucap syukur Alhamdulillah. Tapi saya ga langsung lega sih, pasalnya ini masih hari pertama, dan meraih nilai tertinggi di provinsi saya bukan jaminan saya bakal lanjut ke tahap berikutnya. Satu hal yang tidak bisa saya hindari saat itu dan hampir tidak saya sadari kehadirannya adalah kesombongan dan rasa angkuh yang diam-diam mulai merayapi hati, merasa hebat dan berbangga diri, rasa yang tidak seharusnya saya biarkan hadir dan mencampuri hati yang sudah saya usahakan untuk ikhlas.
Singkat cerita, setelah selesai bertarung dengan soal-soal di dalam, kami dipersilakan keluar dan seperti de javu, saya melihat wajah-wajah tegang para peserta tes sesi keempat yang sedang harap-harap cemas menunggu waktu eksekusinya. Setelah mengambil barang-barang di loker, saya mendekati salah seorang ibu pengawas ujian dan menanyakan lokasi mushollah di kantor itu berhubung saya belum sholat dzuhur dan di luar hujan masih setia menderas. Karena saat itu hampir memasuki waktu ashar, jadi saya sholat ashar sekalian. Dan seperti yang mungkin sudah kalian duga, saya lagi-lagi pulang naik pete-pete seorang diri, hiks.
Daann berakhirlah seleksi ujian tahap 1 itu dengan menyisakan saya yang semakin gencar merajut doa-doa sepanjang waktu meminta hasil yang terbaik saat pengumuman nanti:)
Kayaknya segini udah kepanjangan, wkwk, padahal belum ada setengah perjalanan. Udah, ya, daripada kalian bosan baca karena kepanjangan, saya cukupkan dulu sampai di sini, lanjutannya nanti kapan-kapan saya tulis kalau sempat dan ingat, hahahahha.
Terima kasih sudah mau menyempatkan waktu kalian untuk mampir di lapak bacotan saya, see youuuu later:)
Pertama-tamaaa saya mau ngucapin Selamat hari raya Idul Fitri 1440 H! Taqabbalallahu minna wa minkum, minal aidin wal faidzin, Mohon maaaaffff lahir bathiiiinnn!!!
Alhamdulillah, akhirnya saya kembali dengan postingan baru setelah lamaaaaaaaa blog ini luput dari perhatian saya hehe (ngos-ngosan ngelap keringat). Sebenarnyaaa ini udahhh hampiiirr satu tahunn gengss, hampiirrr bangett setahun sejak saya berniat mengangkat judul ini jadi bahan celotehan di blog abal-abal saya. Dulu, awalnya, saya udah sempat nulis sampai 4 paragraf tapi lebih banyak bacotnya daripada bobotnya yg bikin saya auto mager lanjutin dan keterusan sampe sekarang. Yahh, gimana ya, padahal saya sempat beberapa kali ngebuka blog ini buat lanjutin cerita soal gimana lika-liku kehidupan saya setelah melepas status sebagai seorang siswa, ceilah. Tapi begitu buka, jempol saya di luar kendali malah mencet buat baca postingan-postingan lama saya yg cuma seuprit itu sambil senyum-senyum sendiri (tolong jangan dibayangkan).
Salah satu faktor yg bikin nih tulisan juga gak maju-maju karena saya tuh punya kebiasaan suka ngebaca ulang apa yg sudah saya tulis walaupun cuma satu paragraf sebelum lanjut nulis paragraf berikutnya, dan bacanya itu ga satu-dua kali tapi berkali-kali! Jadi harap maklum ya manteman yang budiman:) Kehidupan kampus yang ga seindah novel-novel teenfiction favorit saya juga menjadi faktor tulisan ini nganggur di dalam draft sampai berbulan-bulan, hhh. Untuk yang itu Insya Allah bakal saya bahas nanti. Iya, nanti kalo ingat:)
Dengan tulisan saya yg belum kelar itu, eh, ada ide lain yg tiba-tiba nemplok di kepala saya tanpa permisi alhasil lahirlah postingan saya yang soal bapake itu lohh. Yah, mayanlah, ya, buat ngisi konten daripada sepi. Kali ini, di liburan semester genap saya yang pertama sejak menyandang status mahasiswa, saat Kendari sedang mesra-mesranya bercumbu dengan hujan yang datang ngapel tiap hari, saya tiba-tiba saja teringat akan tulisan (bacotan, red) yang saya gantung hampir setahun lamanya! Khawatir nih barang bakal lapuk karena kelamaan digantung, saya memutuskan untuk datang membesuk hehe.
Ohiya, saya mau menceritakan (curhat sih lebih tepatnya) pengalaman saya selama beberapa bulan sebelum masuk kuliah, which is ini perih banget sih, literally ya bikin menclos kalau diinget-inget. Udah kayak anak jaksel belom? Hehe. Hmm, mulai dari mana ya? Kalau ga salah postingan terakhir saya itu tentang kekecewaan saya pada mendikbud kan? (postingan soal bapake diabaikan sementara) Hhh, akhirnya mendikbud saya maafin deh, soalnya di luar ekspektasi ternyata nem saya terselamatkan dengan gemilang hahahah. Padahal udah nyiapin mental kalo fisika saya berkepala 4 atau 5, eh alhamdulillah berkepala gede hehe. Jadi intinya, kalo udah berusaha, selanjutnya banyakin doa aja guys, nyiptain alam semesta beserta isinya aja mudah banget buat Allah, apalagi kalo cuma soal nilai, cetek dah. Satu hal lagi yang membuat saya sangat-sangat bersyukur sampai bingung harus mengkespresikannya seperti apa adalah kabar baik yang datang dari laman SNMPTN. Berhubung di postingan saya yang tentang mendikbud itu saya sempat membawa-bawa pengumuman SNMPTN yang memang tinggal menghitung jam, Alhamdulillah saya disambut dengan warna hijau begitu berhasil login. Tulisan 'selamat' membuat saya berkali-kali mengucek mata dan memastikan saya tidak salah membaca berita kelulusan saya di pilihan pertama, Teknik Sipil-Universitas Hasanuddin. Hhh, kalau sekarang saya ingat-ingat, saya jadi malu, betapa baiknya Allah pada hambaNya. Dia telah memberikan kita semuanya sedangkan ibadah kita hanya semaunya:(
Oke, skip, nanti saya baper dan bacotan ini berhenti di sini.
Jadi, selama beberapa bulan sejak usai UNBK hingga semester baru perkuliahan dimulai, saya disibukkan dengan ujian masuk Politeknik Statistika Sekolah Tinggi Ilmu Statistik atau yang biasa disingkat POLSTAT STIS. Bukannya saya ga bersyukur atau kelewat serakah, tapi honestly POLSTAT STIS memang adalah tujuan utama saya dan saya menganggap SNMPTN itu sebagai hadiah dan kesempatan yang bisa saya jadikan batu pijakan seandainya gagal masuk ke STIS. Mungkin terdengar jahat, saya akui bahwa saya egois, apalagi jika seandainya saya lulus seleksi maka saya tidak akan berpikir dua kali untuk membuang SNMPTN saya dan memilih STIS walaupun dengan resiko sekolah saya akan masuk daftar hitam di SNMPTN tahun depan pada jurusan yang sama. Tapi ambisi saya untuk menjadi anak STIS membutakan saya akan itu semua. Kalau sekarang diingat-ingat, saya merasa malu, lagi:(
Oke, back to topic.
Mungkin sebagian besar dari kalian akan mengerinyitkan alis dalam-dalam ketika membaca nama institusi tersebut. Yah, memang sih, dibandingkan STAN, STIS itu ga terlalu beken di telinga masyarakat.
Tapi intinya yah, mirip-mirip sih, sama-sama perguruan tinggi kedinasan (which is sekolah gratis dan lulus langsung jadi PNS). Cuma bedanya, kalau STAN itu dibawahi oleh kemenkeu dan mayoritas pelajarannya seputar akuntansi, pajak, dkk, nah STIS sendiri berada dalam naungan Badan Pusat Statistik (BPS) dan seperti kepanjangannya, ga lepas dari yang namanya Statistika. Tau kan statistika? Itu loh yang biasa berada di bab-bab terakhir buku paket matematika. Di bayangan saya sih statistik itu GUAMPANG BUANGET, palingan cuma tentang nyari rata-rata, modus, median, kuartil, yah yang remeh-remeh manjah gitu. Ternyata aslinya ga sesederhana itu saudara-saudari. Lagi-lagi sifat jelek saya yang suka ngeremehin sesuatu nyaris bikin saya tersesat. Ibarat gunung es, saya cuma liat yang muncul di atas permukaan laut aja tanpa tau kalo di bawah penampakannya gede parah.
Saya pertama kali mendengar tentang STIS itu saat saya masih SMP, itupun saya tau dari salah seorang teman bapak saya yang anaknya juga kuliah di STIS. Mulai dari situ saya bertekad buat kuliah di sana apapun yang terjadi. Yah bisa dibilang sejak saat itu STIS menjadi kampus impian saya. Saya mulai sering nyari-nyari info tentang STIS, mulai dari laman resminya hingga ke blog-blog berisi kisah perjuangan masuk STIS, dan asli ternyata banyak anak STIS yang hobi nge-blog, alhasil saya jadi tau banyak soal kampus biru itu.
Tapi ternyata oh ternyata, ujian masuknya ga bisa dibilang gampang. Saya kudu ngeruntuhin 4 dinding beton yang ga lunak sama sekali wkwk. Oke, sepertinya ini akan panjang. Setelah mendaftar secara online dengan melengkapi segala tetek bengek persyaratan yang harus dipenuhi, saya mendapatkan kartu tanda peserta yang harus dibawa saat melakukan tes tahap pertama.
Tahap 1: Tes Kemampuan Akademik (Matematika)
60 nomor/90 menit
Seleksi tahap pertama dilakukan selama 3 hari dengan sistem ujian berbasis komputer. Nah, saya kebagian hari pertama sesi ketiga tanggal 12 mei 2018 (ini ga bakal saya lupa saking antusiasnya) di kantor BKN SULTRA. Dengan berbekal doa dan google maps, saya naik pete-pete (angkot, red) sendiri menembus hujan rintik-rintik yang berkejaran jatuh ke bumi. Sumpah, suasananya waktu itu melow banget bikin air mata saya hampir netes, antara gugup, takut, tapi optimis bakal lolos, semuanya menggebu-gebu jadi satu. Hanya shalawat dan istigfar yang menjadi teman seperjalanan saya waktu itu, segala macam rumus yang belakangan jadi kawan sehari-hari sejenak saya tanggalkan dari pikiran, saya rasa waktu mengasah kapak sudah cukup dan kini tinggal menunggu waktu eksekusi dengan khidmat, hiyaaatt.
Begitu tiba saya langsung masuk dengan PDnya ke dalam kantor dengan terlebih dahulu mengobservasi sosok-sosok manusia asing yang duduk berjejer di depan pintu masuk. 'Mungkin para orang tua peserta' pikir saya saat itu yang membuat saya cukup sedih karena pergi seorang diri tanpa ada yang menemani. Sebelum masuk, saya dicegat dengan seorang bapak berseragam rapi, "Bisa lihat surat-suratnya, Dek?"
Bukan, bukan, si bapak bukan polisi lalu lintas.
"Bisa lihat kartu tanda peserta dan KTPnya, Dek?" tanya si bapak yang ternyata salah seorang pegawai BKN yang juga merupakan panitia pelaksana ujian saat itu. Saya hanya menatap beliau sekilas lalu mengeluarkan kartu tanda peserta yang sudah saya cetak dan KTP sementara saya yang masih berupa lembaran kertas ukuran A5 berwarna biru. Setelah mencocokkan identitas saya dan memastikan bahwa saya bukan oknum yang gemar memalsukan identitas, beliau tersenyum dan mempersilahkan saya masuk.
Begitu masuk, ternyata ujian sesi kedua masih berlangsung jadi kami dipersilahkan untuk duduk di ruang tunggu yang lebih mirip ruang sidang. Sebelumnya saya diarahkan untuk menyimpan semua barang-barang saya ke dalam loker dan mengisi absensi di format yang sudah disediakan, tak lupa juga diberi user name dan password yang akan saya gunakan saat ujian nanti. Begitu saya sudah duduk manis di kursi, penyakit saya ketika musim hujan tiba-tiba datang tanpa permisi, ya, saya punya kebiasaan bolak-balik buang air kecil kalau udara sedang dingin-dinginnya, apalagi waktu itu sedang hujan dan pendingin ruangan bekerja dengan sangat optimal.
Untuk membunuh waktu, saya yang memang aslinya kepo dan tukang penasaran langsung mengedarkan pandangan dan mengamati satu per satu wajah-wajah teman seperjuangan saya, beberapa ada yang familiar (mungkin kakak kelas di SMP atau SMA) dan sebagian besar asing. Daripada bengong kayak orang bego, saya mulai sok asik dengan orang yang duduk di samping saya. Caranya mudah kok, cukup perkenalkan diri, menanyakan nama dan asalnya dan sedikit basa-basi seperti bertanya tadi ke sini sama siapa, naik apa, ditungguin tes atau nggak. Tapi kalo nanya ya satu-satu jangan keroyokan nanti orangnya babak belur, hehe.
Selang beberapa menit, pintu ruang ujian terbuka perlahan-lahan dan menampakkan kurang lebih 50 kepala dengan raut wajah beraneka ragam. Ada yang pucat pasi (entah karena rasa gugup atau karena pendingin ruangan yang suhunya keterlaluan), ada yang riang gembira bak menang lotre 2 milyar, ada yang matanya sembab (entah karena tangis atau karena sempat-sempatnya tidur di dalam ruangan), intinya wajah-wajah itu membuat saya harap-harap cemas. Setelah ruang ujian benar-benar steril dari peserta sesi dua, kami pun dipersilakan untuk memasuki ruangan dengan membentuk dua barisan (satu barisan cowok dan satu barisan cewek) yang mana setiap orang sebelum masuk akan diperiksa menggunakan alat pemindai untuk mengidentifikasi apakah ada alat-alat atau perangkat yang kiranya dapat digunakan sebagai media kecurangan. Setelah memastikan semua peserta bersih dari barang-barang tersebut, kami pun masuk dan mencari komputer mana yang akan kami gunakan dengan menyesuaikan nomor peserta kami dengan nomor yang tertempel pada meja ujian. Sebuah kebetulan yang tidak istimewa, saya kebagian tempat duduk di barisan paling kiri dan shaf ketiga dari belakang.
Setelah duduk manis, kami mendapat pengarahan singkat mengenai bagaimana cara untuk login ke dalam situs ujian beserta penegasan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh seluruh peserta ujian. Satu peraturan yang membuat saya menghela nafas panjang adalah "Peserta dilarang meninggalkan ruang ujian saat ujian sedang berlangsung dengan alasan apapun." Karena tahu peraturan itu bukan main-main, saya cuma bisa berdoa semoga hasrat ingin ke kamar kecil saya tidak kambuh dalam 90 menit ke depan. Setelah berdoa memohon petunjuk dan kemudahan, saya mulai mengerjakan soal-soal tersebut dengan tenang. Kuncinya 'jangan panik' dan kerjakan soal-soal yang dirasa mudah terlebih dahulu, begitu saya bertemu dengan soal yang sulit ataupun soal yang butuh waktu lama untuk diselesaikan, saya langsung pindah ke soal lainnya. Jangan lupa perhatikan waktu yang terus berjalan angkuh karena banyak orang yang keasyikan mengerjakan satu soal lantaran penasaran dengan jawabannya sampai tidak sadar telah menghabiskan waktu tiga sampai lima menit, which is sayang banget waktunya. Ohiya, sekadar informasi, sistem penilaiannya adalah +4 untuk jawaban benar, (-1) untuk jawaban salah, dan 0 untuk soal yang tidak dijawab, jadi saya tidak berani mengeluarkan jurus-jurus tejo (tembak jonga) andalan saya. Untuk standar soalnya, seperti rumor yang sudah banyak beredar bahwa soal-soal ujian masuk STIS itu sangat sulit, tapi kalau menurut saya soalnya itu beragam sih, mulai dari yang lumayan gampang, sedang, sulit, hingga sangat sulit itu semuanya ada, jadi kembali ke diri kita gimana pintar-pintarnya kita memilah soal mana yang mau dijawab karena setiap soal itu memiliki bobot yang sama, ga ada beda bobot soal yang susah sama yang mudah. Itu menurut saya sih ya.
Tidak terasa 90 menit berlalu begitu saja. Saat waktu ujian saya tersisa 3 menit lebih sedikit, saya berhasil menjawab sekitar 30an soal yang 95% saya yakin benar, sisanya mungkin benar-mungkin salah wkwk. Begitu waktunya habis, laman langsung menampilkan semacam persentasi nilai (mungkin?) saya juga ga tau pasti tapi yang pasti 'sesuatu' itu membuat si bapak pengawas yang entah sejak kapan berdiri di samping komputer saya nyeletuk, "Dari SMA mana, Dek?" Saya yang kaget dengan keberadaan beliau langsung menoleh dengan tidak nyante dan menjawab pertanyaannya yang tiba-tiba itu. Setelah mendengar jawaban saya, beliau langsung manggut-manggut terus ngomong dengan yakin, "Sejak tadi pagi di sesi satu sampai saat ini, kamu adalah peraih nilai tertinggi untuk seleksi tahap pertama di sultra." Saya antara percaya dan nggak percaya cuma tersenyum sopan menanggapinya hingga sebuah suara dari si Ibu yang membacakan peraturan ujian tadi tiba-tiba menarik perhatian seluruh orang yang ada di dalam ruangan (belakangan saya mengetahui bahwa ternyata beliau adalah pimpinan BPS provinsi di daerah saya).
"Selamat untuk seluruh peserta sesi ketiga hari ini, kalian telah melalui tahapan pertama dari rangkaian seleksi ujian masuk POLSTAT STIS. Di sesi ketiga ini, nilai tertinggi diraih oleh peserta dengan nomor ujian 7400136." Kira-kira seperti itu ucapan beliau yang membuat saya tersinggung berat. Rasanya seperti mimpi begitu melihat kartu ujian saya dan di situ tertulis dengan jelas nomor ujian saya berekor 7400136. Saya langsung mandang si bapak dengan mata berkaca-kaca, rasanya mau nangis tapi malu, mau malu tapi nangis, eh, ga deng, saya refleks ngucap syukur Alhamdulillah. Tapi saya ga langsung lega sih, pasalnya ini masih hari pertama, dan meraih nilai tertinggi di provinsi saya bukan jaminan saya bakal lanjut ke tahap berikutnya. Satu hal yang tidak bisa saya hindari saat itu dan hampir tidak saya sadari kehadirannya adalah kesombongan dan rasa angkuh yang diam-diam mulai merayapi hati, merasa hebat dan berbangga diri, rasa yang tidak seharusnya saya biarkan hadir dan mencampuri hati yang sudah saya usahakan untuk ikhlas.
Singkat cerita, setelah selesai bertarung dengan soal-soal di dalam, kami dipersilakan keluar dan seperti de javu, saya melihat wajah-wajah tegang para peserta tes sesi keempat yang sedang harap-harap cemas menunggu waktu eksekusinya. Setelah mengambil barang-barang di loker, saya mendekati salah seorang ibu pengawas ujian dan menanyakan lokasi mushollah di kantor itu berhubung saya belum sholat dzuhur dan di luar hujan masih setia menderas. Karena saat itu hampir memasuki waktu ashar, jadi saya sholat ashar sekalian. Dan seperti yang mungkin sudah kalian duga, saya lagi-lagi pulang naik pete-pete seorang diri, hiks.
Daann berakhirlah seleksi ujian tahap 1 itu dengan menyisakan saya yang semakin gencar merajut doa-doa sepanjang waktu meminta hasil yang terbaik saat pengumuman nanti:)
Kayaknya segini udah kepanjangan, wkwk, padahal belum ada setengah perjalanan. Udah, ya, daripada kalian bosan baca karena kepanjangan, saya cukupkan dulu sampai di sini, lanjutannya nanti kapan-kapan saya tulis kalau sempat dan ingat, hahahahha.
Terima kasih sudah mau menyempatkan waktu kalian untuk mampir di lapak bacotan saya, see youuuu later:)
Komentar
Posting Komentar