Kesehatan Mental di Tengah Pandemi Covid-19


Sejak Covid-19 (Corona Virus Disease-2019) dideklarasikan sebagai pandemi oleh World Health Organization (WHO), seluruh dunia mulai bergerak mengantisipasi segala kemungkinan. Beberapa negara dengan catatan kasus terbanyak seperti Italia dan Spanyol mulai menerapkan lockdown demi menekan masifnya penularan virus jenis baru ini. Di samping itu, Wuhan, kota yang menjadi episentrum penyebaran virus corona mulai pulih dan menata kembali roda kehidupannya.

Tak dapat dipungkiri, seiring dengan mengglobalnya Covid-19, maka semakin kompleks pula aspek kehidupan yang terkena dampaknya. Tidak hanya krisis kesehatan, sektor ekonomi, politik, dan terlebih sosial pun ikut terseret dalam pusarannya. Beragam kebijakan dibuat, berbagai upaya digelontorkan. Tidak hanya pemerintah, rakyat pun turut mengudarakan tuntutan dan kecamannya. Inilah, itulah. Pemerintah pun ikut berdalih, inilah, itulah.

Ibarat kapal, kita semua sedang terombang-ambing dalam badai besar di tengah samudera yang tepinya tak tertangkap oleh netra. Beberapa orang akan berdiri di bagian kapal paling atas, sibuk memberikan komando agar kapal dapat bertahan. Beberapa orang akan menjaga kemudi agar tetap dalam kendali. Beberapa orang egois sibuk berebut pelampung demi menyelamatkan diri jika sewaktu-waktu kapal akan terbalik, adu otot pun tak dapat dihindari. Beberapa orang putus asa memutuskan lompat dari kapal dan menjemput mautnya sendiri. Beberapa yang tidak tau harus berbuat apa hanya bisa menangis dan meratapi nasib.

Badai adalah peristiwa alam, siapa sih yang bisa mencegahnya? Apalagi posisi kapal yang jauh dari daratan membuat orang-orang tidak bisa menyelamatkan diri begitu saja.

Maka biarkan para awak dengan tugasnya, mengupayakan agar kapal tetap kokoh dan terkendali. Bijaklah sebagai penumpang, semuanya akan selamat jika kita patuh pada arahan, tenangkan diri dan tenangkan orang lain. Di saat seperti ini, diri kita sendiri bukanlah satu-satunya orang yang merasa terancam, semua orang merasakan hal serupa. Maka cobalah jadi sosok yang bisa menenangkan, mulailah berpikir jernih dan berilah kontribusi walau sedikit.

Di sinilah pentingnya kita memperhatikan mental health. Covid-19 memang sebuah penyakit yang menyerang tubuh secara lahiriah, virusnya menggerogoti organ pernafasan dan dalam kasus terburuk menyebabkan kematian. Namun posisinya sebagai wabah pandemi yang berskala besar membuat penyakit ini tidak hanya menyerang seseorang dari segi fisik, namun juga psikologis.

Apa sih mental health itu?

Menurut Orford (2008), mental health adalah sebuah "well-being" yang membuat seseorang mampu melakukan penerimaan atas diri sendiri, menjalin hubungan positif dengan orang lain, kemandirian, adaptasi, produktivitas sesuai kapasitas, dan sebagainya yang bermuara pada kemampuan individu untuk dapat berpikir, berperilaku, dan bersinergi secara positif.

Seseorang yang sehat mental akan memahami dirinya sendiri, dapat menerima kekurangan, memaksimalkan kelebihan, dan mengontrol emosinya dengan baik. Kesehatan mental dipengaruhi oleh beberapa hal, baik biologis, fisik, sosial, psikologis, hingga ekonomi dan politik. Hampir segala saraf-saraf penggerak kehidupan itu mempengaruhi kesehatan kita secara mental. Sehingga, ketika wabah ini muncul dan memberikan pukulan telak di setiap saraf tersebut, maka terganggunya kesehatan mental tak dapat dihindari. Rasa cemas, khawatir, terguncang, tidak aman, segalanya muncul dan membuat kita kehilangan kemampuan "well-being" tadi.

Pasti kita pernah mendengar, membaca, atau mungkin mengalami dan menyaksikan sendiri bagaimana fenomena panic buying yang menerpa masyarakat karena adanya imbauan physical distancing. Kebijakan yang membuat kita tidak boleh berkeliaran dengan bebas di luar rumah dan berinteraksi langsung dengan masyarakat, entah itu nongkrong, jalan-jalan, atau berbelanja. Banyak orang-orang yang khawatir akan kekurangan stok bahan makanan selama masa pandemi akhirnya memborong hampir semua isi swalayan dan menyisakan etalase-etalase yang tinggal label harga saja. Peristiwa "nimbun" ini sangat banyak terjadi, bahkan di konteks yang lain, beberapa pihak mencoba meraup keuntungan dengan menimbun masker dan hand sanitizer lalu dijualnya kembali dengan harga yang tak masuk akal mahalnya. Orang-orang inilah yang sibuk berebut pelampung hanya untuk menyelamatkan dirinya sendiri.

Di sisi lain, bentuk terganggunya kesehatan mental juga dialami oleh mereka yang pada dasarnya merupakan orang yang "sangat" ekstrovert, yang mencintai sosialisasi dan hobi melipir ke sana kemari, namun kini harus dirumahkan dalam jangka waktu yang tidak dapat ditentukan. Kecanggihan teknologi bahkan tak dapat mengatasi kejenuhannya. Kasus paling buruk bagi orang-orang ini adalah stress berkepanjangan dan hilangnya gairah untuk melakukan produktivitas.

Apalagi untuk orang-orang yang memang memiliki rasa kekhawatiran dan kecemasan berlebih, angka kasus terkonfirmasi dan jumlah nyawa yang meninggal dari pemberitaan media akan menjadi boomerang yang membuatnya frustasi. Kecemasan dan kekhawatiran berubah menjadi ketakutan, menghindari kontak dengan orang lain secara berlebihan. Pernah kan membaca berita tentang seseorang yang memakai Alat Pelindung Diri (APD) hanya untuk berbelanja ke minimarket? Nah, sedikit banyak orang-orang ini merepresentasikan dirinya dalam bentuk seperti itu.

Lantas, apa yang harus dilakukan?

Sederhananya, saya akan mencoba mendefinisikan tahapannya sebagai berikut.

1.      Shock
2.      Denial
3.      Awareness
4.      Acceptance
5.      Experiments
6.      Mental Health

Pada awalnya, setiap orang yang mengalami perubahan besar secara tiba-tiba pasti akan mengalami syok, bingung harus berbuat apa, hingga kehilangan orientasi. Selanjutnya syok ini akan mengundang reaksi penolakan. Sehingga ditemui masih banyak orang yang ngeyel dengan imbauan, tidak peduli dengan isu dan berita mengenai Covid-19 yang semakin merajalela, dan masih bersikap seperti tidak ada yang terjadi. Sikap denial inilah yang berbahaya, dan sayangnya banyak ditemukan pada masyarakat dunia di awal-awal masa pandemi.

Prosesi denial ini akan berhenti jika individu yang bersangkutan akan sampai pada titik dimana dia mengalami atau menyaksikan sendiri realita yang terjadi. Hal tersebut kemudian akan diekstrak menjadi sebuah kesadaran atau awareness. Kesadaran inilah yang kemudian membuatnya bisa menerima keadaan dan timbul keinginan untuk bereksperimen atau mencoba segala upaya, kira-kira apa sih yang bisa dilakukan untuk turut serta mengambil peran melawan pandemi ini? Kemudian beberapa orang akan mulai menyebar pamflet donasi, mendaftarkan diri sebagai relawan kesehatan, aktif berpartisipasi dalam menyalurkan paket sembako pada masyarakat kecil yang terdampak besar, masif memberikan edukasi mengenai Covid-19 melalui media sosial, dan hal-hal positif lainnya yang secara bertahap akan membantu untuk merekonstruksi kembali kesehatan mentalnya.

Jadi, mari tumbuhkan awareness, lawan kecemasan, terimalah keadaan, dan mulailah mengambil peran. Tentu kita tidak ingin hanya duduk manis sebagai penonton lalu tenggelam begitu saja kan?

Singkapkan selimutmu, bergeraklah!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pidato : Gaya Hidup dan Pergaulan Remaja Masa Kini

Puisi : Generasi Muda

Puisi : Munajat Cinta