Kenakalan Tak Terencana: Perjalanan Menuju Desa di Bawah Kaki Pelangi
Satu dari sekian keberuntungan yang selalu saya syukuri hingga detik ini adalah kesempatan untuk menjadi bagian dari keluarga kampus mengajar angkatan 2 yang diselenggarakan oleh mendikbud. Dengan bermodal niat untuk mencari kesibukan pasca mengurus di himpunan mahasiswa jurusan, mengisi waktu di samping menjalankan rutinitas perkuliahan sebagai mahasiswa tingkat akhir, saya mencoba untuk mendaftarkan diri pada salah satu program MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka) yang belakangan ini sempat hitz. Suatu program yang cukup menggiurkan, kapan lagi bisa melakukan pengabdian, aktivitas sosial, dan dibayar oleh pemerintah?
Tanpa
berpikir seribu kali, saya segera menyiapkan dokumen-dokumen pendaftaran yang
disyaratkan. Tidak begitu sulit, selama tidak ada syarat nilai TOEFL/IELTS yang
bisa-bisa langsung membuat saya mundur teratur WKWK. Sebagai orang yang
memiliki tingkat kePDan yang tinggi sekaligus potensi insekyuritas yang sama
tingginya, lulus dan diterima bukan menjadi ambisi saya yang harus diwujudkan.
Yah, setidaknya sudah berusaha, apapun hasilnya, rejeki tidak akan lari kemana.
Namun,
predikat kelulusan yang saya peroleh di hari pengumuman ternyata tidak lantas
membuat saya lompat kegirangan seperti yang seharusnya. Mengingat lokasi
penempatan sekolah saya yang berada nun jauh di gunung sana, walaupun ternyata
masih di kabupaten yang sama, saya jadi ragu dapat menjalankan program ini
dengan baik di samping padatnya aktivitas kampus. Proses pembekalan satu minggu
sebelum penerjunan saya ikuti dengan setengah hati lantaran sibuk menghubungi
panitia kampus mengajar terkait kesempatan untuk mengajukan usulan pemindahan
sekolah penempatan ke sekolah yang lebih dekat. Proses yang berjalan cukup
alot, mengajukan-ditolak, mengajukan-tertolak, mengajukan-terlambat diproses,
hingga pada kesempatan pengajuan pemindahan yang terakhir namun tidak saya
ketahui infonya membuat saya akhirnya menyerah dan berusaha menerima ditempatkan
di sekolah yang jaraknya bisa mencapai 109 km dari domisili saya.
Rabu,
11 Agustus 2021, satu hari setelah vaksin kedua dan menghabiskan malam hingga
subuh di musyawarah, saya berangkat ke lokasi bersama teman saya menggunakan
sepeda motor. Mengecek google maps,
estimasi waktu perjalanan 2 jam 46 menit, saya optimis bisa sampai tepat waktu.
Tanpa memikirkan akan seperti apa medan yang akan saya hadapi nanti, perempuan
yang tidak pernah punya SIM ini mengajukan diri untuk menjadi pembonceng WKWK.
Mulanya,
perjalanan biasa saja, aspalnya lumayan bagus dan rutenya cukup datar. Hingga
sampai pada tanjakan yang pertama, saya agak deg-degan tapi juga antusias,
pacuan adrenalin membuat saya semakin penasaran apa lagi yang akan dihadapi
selanjutnya. Awalnya hanya tanjakan biasa, selanjutnya saya dikejutkan dengan
tikungan demi tikungan terjal yang nyaris bikin ban motor selip kalau saja saya
tidak nekat menarik pedal rem kuat-kuat. Kiri jurang kanan tebing membuat saya
berusaha membuang pikiran buruk jauh-jauh, salah mengarahkan setir bisa-bisa
kami terjun bebas. Sepanjang jalan saya geleng-geleng kepala tak habis pikir,
sekian belas gunung didaki dan dituruni, kalau orangtua saya tahu saya bawa
motor sejauh ini dengan rute yang naudzubillahimindzalik sangat beresiko, saya
auto dipulangkan ke kendari lalu berujung jadi narapidana di rumah sendiri.
Rekor terjauh saya diizinkan membawa kendaraan sendiri hanya di minimart depan
kampus yang hanya berjarak 1,5 km dari rumah saya. Dibonceng oleh teman saya
pun orangtua saya pasti tidak akan mengizinkan kalau jaraknya sejauh ini.
Dalam
hati saya sibuk mengutuk, “Ballassi kau, nad, sotta sekaliko bawa motor
jauh-jauh, mana rutenya bukan untuk orang yang masih noob bawa motor. Boncengko
lagi anaknya orang, kalau ada apa-apa di jalan ndataumi apa mo dibilang
HAHAHA,” Iya, saya mengutuk sambil tertawa jahat. Bangga juga sih dengan ke-sotta-an
dan kenekatan yang tidak tanggung-tanggung ini.
Di
setengah perjalanan, kami terpaksa berhenti karena hujan deras dan jalanan licin
bukan main. Sedikit merenggangkan badan dan beli floridina di warung terdekat.
Saat sudah agak reda, kami melanjutkan perjalanan dan sialnya baru 10 menit
jalan, hujan tiba-tiba turun lagi dan membasahi kami yang tidak bisa berteduh
karena sudah memasuki area pegunungan lagi a.k.a sudah tidak ada tempat
berteduh. Tapi pemandangan selanjutnya membuat kami terkagum-kagum. Di seberang
sana, gunung yang berhadapan dengan gunung yang sedang kami tanjaki, terbentang
sebuah pelangi raksasa yang sangat cantik. Teman saya yang duduk di boncengan
langsung nyeletuk, “Itu Ulugalung!” Ulugalung, sejak saat itu saya menjulukinya
“desa di bawah kaki pelangi.” Mulai dari sini, perjalanan rasanya semakin
menyenangkan, “perjalanan menuju desa di bawah kaki pelangi.”
Tapi
amatir tetaplah amatir. Saya sempat dibuat syok parah saat dihadapkan
dengan jalanan menurun yang sempit dan sangat curam, alhasil teman saya
terpaksa saya turunkan sambil saya menurunkan motor sedikit demi sedikit karena
parno motor akan meluncur jauh dengan indah tanpa kami di atasnya duduk dengan
selamat. Rasa hati ingin putar balik tapi tanggung sudah ¾ perjalanan,
buang-buang bensin. Akhirnya setelah menguat-nguatkan hati dan
menyakin-yakinkan diri, saya berusaha melanjutkan perjalanan walaupun nyali cenat-cenut,
bertanya-tanya rintangan apa lagi yang akan didapatkan selanjutnya. Belum lagi
pelipis yang rasanya perih luar biasa karena memakai helm terlalu lama,
pinggang yang encok, dan bahu yang sendi-sendinya seperti ingin saling
memisahkan diri. Terdengar lebay memang, tapi seperti itulah curahan hati
seorang amatir, gais.
Perjalanan
yang sangat seru dan mendebarkan itu akhirnya ditutup dengan sambutan hangat
adik-adik SDN Ulugalung yang begitu kami sampai di depan gerbang sekolah langsung
berlarian sambal berteriak riang, “Haloo, kak nadiaaa! haloo kak serlii!”
Sapaan polos dan tulus dari bocah-bocah belia yang membuat semua rasa lelah
selama perjalanan tiba-tiba menguap tak bersisa. Dalam hati saya berujar pelan,
“Semoga betah, Nad.”
Tulisan ini ditulis pada 11 Agustus 2021, dipublikasikan pada 3 Juni 2022:)
Komentar
Posting Komentar