November 2021

 November menjadi penawar rindu bagi bentala yang telah lama mendamba sapaan cakrawala. Rintik-rintik air yang saling berlomba menuturkan sapa dan salam yang kesekian, membasuh keringnya bumi yang kian hari dipadatkan oleh koloni-koloni manusia yang kadang lupa caranya bersyukur. Sebagai tamu dari surga, anak cucu keturunan adam yang budiman, sudah sepatutnya kita menjadi entitas yang elegan, menghamba pada sejatinya pemilik semesta, bukan malah memuja popularitas dan menuhankan uang.

Hari-hari belakangan, langit tak pernah alpa menuntaskan rindunya. Jika matahari sudah bergerak meninggi lebih dari sehasta, kerumunan awan saling tarik-menarik, merangkul kawanannya yang lain lalu membentuk gumpalan kelabu yang mendebarkan. Perlahan, pasukan air yang menjadi utusan rindu itu melepaskan diri satu per satu jatuh disambut hangatnya pelukan sang bumi.

Saya terduduk setengah semangat menghadapi layar 15,6 inchi, memutar kepala untuk merangkai kata demi kata, mengurai benang kusut yang menghinggapi otak sedemikian rumitnya. Dengan perasaan tak menentu, saya mencoba mengurai kekalutan yang melingkupi tengkorak kepala saya sejak beberapa waktu yang lalu.

17 November 2021, tujuh hari lagi menuju usia saya yang ke-21 tahun. Setiap umur saya bertambah, saya selalu dihinggapi perasaan tak menentu, status “dewasa” mau tak mau akan tersemat tanpa bisa ditolak. Sebagian orang mungkin akan diliputi perasaan bahagia dan senang bukan main saat menyambut usianya yang baru, sebagian akan merayakannya dengan meriah penuh suka cita, sebagian lainnya mungkin hanya terdiam gagu, bingung harus gembira atau gulana, rasanya banyak hal yang terlewat begitu saja tanpa benar-benar diresapi dengan baik hikmahnya. Sebentar lagi mengemban usia dua satu, saya banyak memikirkan tentang “apa yang sudah saya lakukan sejauh ini?”; “apa saja yang sudah saya berikan untuk orang lain?”; “kontribusi apa yang sudah saya lakukan untuk sekitar?”; “hafalan qur’an saya, sudah berapa lama tidak bertambah?”; “kapan terakhir kali saya bersedekah kepada mereka yang kurang berpunya?”; “kapan terakhir kali saya sholat dan berdoa dengan sangat khusyuk, menghamba penuh pengharapan pada sang Illah?”; “tabungan amal saya, apakah cukup untuk dibawa ke akhirat?”

Menjadi dewasa membawa pikiran saya semakin dekat ke arah kematian, selain ke arah pernikahan, maybe? HAHAHA. Saya takut kalau lelah dan payah saya selama ini hanya untuk mengejar dunia sedangkan akhirat saya jauh tertinggal di belakang. Ketika impian yang dulu saya sebut di setiap doa penghujung shalat terwujud satu per satu, saya takut hal tersebut membuat saya justru semakin jauh dariNya. Saya takut kesibukan saya membuat saya meremehkan ibadah-ibadah yang harusnya saya tunaikan sebagai seorang muslim. Sholat di penghujung waktu, subuh yang kesiangan, dhuha yang ditinggalkan, mengaji yang tersendat-sendat saking asingnya saya menyentuh mushaf, tahajjud yang tidak lagi sempat, hafalan yang memudar satu per satu, sebagian harta yang harusnya bisa saya sisihkan untuk berderma namun habis saya gunakan untuk mengenyangkan perut sendiri, dan kelalaian-kelalaian lain dari nikmat yang harusnya bisa saya optimalkan sebagai ladang pahala.

Menjadi dewasa sebenarnya tidak semenakutkan itu jika kita selalu melibatkan Allah dalam menjalaninya. Segala tuntutan dari sekitar mungkin berkontribusi besar dalam memberatkan isi kepala, segala ekspektasi yang membebani pundak, harapan yang memberatkan langkah, dan segala sesuatu yang membuat seorang dewasa hanya ingin mengurung diri dan menutup telinga rapat-rapat. Tak berani menghadapi dunia yang kadang kejam dan tak adil. Sebagai manusia, tamak memang jika ingin menaklukan dunia lalu depresi sendiri karena tidak mampu mewujudkannya. Tapi bukan berarti mustahil jika kita bersama Sang Penguasa Dunia, pencipta alam semesta beserta isinya, jangankan dunia, malaikat pun segan pada kita.

Tapi kawan, dunia ini bukanlah tujuan. Nasihat yang sudah terlalu sering didengar, dunia hanyalah persinggahan, segala yang kita miliki sekarang tidak akan dibawa ke liang lahat, hanya amal ibadah yang bisa menemani tidur panjang kita hingga tiba waktu yang telah ditetapkan. Maka, berlomba-lombalah untuk menyejahterakan kehidupan akhiratmu. Semoga kita semua bisa berkumpul lagi di SurgaNya kelak. Aamiiin.



Ditulis di Ulugalung,

Nun jauh di perbatasan gowa-jeneponto,

17 November 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pidato : Gaya Hidup dan Pergaulan Remaja Masa Kini

Puisi : Generasi Muda

Puisi : Pejuang Ilmu